Langit cerah tanpa cela, dan angin hanya berani lewat sekelebat, seolah takut terbakar.
Aku baru saja selesai menyiram tanaman saat mendengar suara gemerisik mencurigakan dari arah pohon mangga di belakang rumah.
Awalnya kupikir hanya burung atau tupai, tapi suara itu terlalu heboh untuk makhluk sekecil itu. Aku mendekat perlahan, curiga.
Dan benar saja — dari balik rimbunnya daun, tampak kepala kecil menyembul.
Seorang anak laki-laki, kira-kira umur delapan tahunan, sedang bergelantungan di salah satu cabang, matanya fokus memilih mangga paling matang.
“WOI!” teriakku sambil menuding ke arahnya, “Turun kamu! Lagi ngapain itu?”
Bocah itu tersentak.
Mangga yang hampir diraihnya langsung jatuh ke tanah, tapi dia tetap mencengkeram dahan erat-erat, berusaha menstabilkan diri.
Matanya membelalak, menatapku seperti rusa yang ketahuan di tengah jalan.
Aku berdiri dengan tangan di pinggang, menatapnya tajam.
“Kecil-kecil udah maling mangga, ya? Nggak malu? Saya laporin ke papamu!”
Dia terdiam sejenak, lalu perlahan turun dari pohon. Wajahnya tak menunjukkan rasa takut, justru lebih ke… jengah.
Setelah berdiri tegak di hadapanku, dia menunjuk ke arah pohon mangga yang tumbuh sedikit lebih jauh di sisi kebun.
“Tuh, papaku di pohon sebelah,” katanya datar.
Aku menoleh — dan nyaris tak percaya.
Benar saja. Di pohon sebelah, seorang pria dewasa sedang bertengger santai, sambil memetik mangga dengan posisi penuh pengalaman.
Tangannya lincah memilih yang matang, lalu dengan cekatan memasukkannya ke dalam kantong plastik yang digantung di dahan.
Saat menyadari sedang diperhatikan, pria itu cuma nyengir sambil melambaikan tangan. “Maaf, Pak! Buahnya ngilerin banget dari luar pagar!”
Aku hampir tak bisa menahan tawa. Dua generasi maling mangga, pikirku. Anak dan bapak kompak nyolong bareng.
Tapi sebelum aku sempat menegur lebih lanjut, bocah itu menghela napas dan berkata dengan nada bosan, “Bapak saya tuh… susah dibilangin.
Sudah saya bilang, panennya nanti sore, nunggu saya pulang sekolah.”
Aku mengernyit.
“Lho? Maksudmu?”
Dia menatapku lurus dan berkata santai,
“Ini kebun saya, Pak. Warisan dari kakek. Nama saya Rafi. Ayah saya cuma bantu-bantu kalau lagi longgar kerjaan.
Dia sering nggak sabaran kalau lihat mangga mulai matang.”
Aku terpaku di tempat.
Jadi, dari awal… aku yang salah sangka. Bukan anak itu yang maling mangga. Justru aku yang marah-marah di kebun orang.
Rafi lalu memungut mangga yang jatuh tadi, menepuk-nepuknya bersih dari debu, lalu menyodorkannya padaku.
“Nih, Pak. Buat Bapak aja. Lain kali kalau mau mangga, bilang saya aja. Jangan ngamuk-ngamuk dulu.”
Dan di bawah panas terik siang, aku menerima mangga itu sambil nyengir malu.
Rupanya, yang kecil belum tentu salah. Dan yang tua belum tentu paham situasi. Kadang, kita cuma perlu... nanya dulu sebelum ngegas.
0Komentar
Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel yah. Mohon maaf spam dan link aktif akan dihapus. Terima kasih sobat...👍👍👍