JejakBD.web.id - Di sebuah kota kecil yang tenang, berdiri sebuah kantor pos tua yang menjadi saksi bisu perjalanan banyak orang.
Hari itu, cuaca mendung menyelimuti langit, seolah menyatu dengan perasaan seorang pria tua lusuh yang melangkah pelan menuju loket.
Pak Sarman, petugas pos yang sudah puluhan tahun bekerja di sana, memperhatikan pria itu dari balik kaca.
Pakaian pria tersebut kusam dan penuh tambalan, rambutnya acak-acakan, dan matanya terlihat sayu.
Ia menyerahkan secarik kartu pos tanpa prangko, lalu pergi tanpa banyak bicara.
Pak Sarman mengambil kartu itu dan membacanya perlahan. Tulisan tangan di atasnya sedikit bergetar, tapi pesannya jelas:
"Tuhan, saya sangat miskin. Tolong kirimkan saya uang satu juta rupiah. Saya lapar. Sudah seminggu saya tidak makan."
Pak Sarman terdiam lama. Belum pernah seumur hidupnya ia menerima kartu pos dengan alamat tujuan seperti ini: "Untuk Tuhan."
Awalnya ia hendak membuangnya, tapi entah mengapa, hatinya berat. Ia memutuskan untuk membawanya pulang dan menceritakannya kepada tetangganya, saya sendiri.
Kami duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin. Mendengar cerita itu, saya merasa tersentak.
Saya mengenal betul siapa pengirim kartu itu. Namanya Pak Samin, seorang pria tua yang tinggal sendirian di sebuah gubuk reyot di pinggir kampung. Sehari-hari ia mengais sisa sayur di pasar, dan tidur beralaskan kardus.
Saya pun mengajak beberapa teman untuk bersama-sama menggalang bantuan. Tidak banyak yang bisa kami kumpulkan, hanya Rp500.000. Tapi kami berharap, itu cukup untuk menyambung hidupnya beberapa hari ke depan.
Sore itu, saya mengantarkan uang tersebut langsung ke gubuk Pak Samin. Ia menyambut dengan senyum getir, matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih, Bang Day. Semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak,” katanya lirih, sambil menggenggam amplop berisi uang itu erat-erat.
Saya pulang dengan hati sedikit lega. Meski tak seberapa, saya merasa telah melakukan sesuatu yang berarti.
Namun beberapa hari kemudian, kejadian lucu terjadi. Pak Sarman datang ke rumah saya sambil tertawa terpingkal-pingkal, membawa sebuah kartu pos lain yang baru saja diterima di kantor.
Dengan penuh semangat ia membacakan isinya:
"Tuhan, terima kasih. Kiriman uangnya sudah saya terima. Tapi lain kali, tolong jangan titip lewat Bang Day ya. Dipotong Rp500.000 sama dia."
Saya ikut tertawa, meski ada sedikit rasa geli juga. Di satu sisi, itu bentuk kejujuran polos dari seseorang yang sedang terdesak.
Di sisi lain, ada ironi yang begitu manusiawi—di tengah penderitaan, masih ada ruang untuk percaya, berharap, bahkan berseloroh kepada Tuhan.
Wah baca terakhirnya jadi ngakak persis Pak Sarman :D pdhl realita ya Bang yang dikumpulkan donasi terkumpul 500k :D
BalasHapussetuju dg penutup ceritanya Bang, dan itu harus percayakan padaNya untuk semua hal
Benar mba, kadang orang suka berprasangka padahal orang lain sudah susah payah membantu
HapusIni beneran kah kisahnya bang Day?
BalasHapusTidak persis sama, tapi pesan moralnya seperti itu hehhe
HapusHahaha 😆😆 kena deh Bang Day
BalasHapusSaya numpang ketawa aja dah, ngga apa-apa kan.. wkwkwk.. Ending gokil abis.. wkwkwk.
BalasHapus