JejakBD.web.id - Tahun 2020 lalu adalah tahun yang penuh kejutan, kami mendapatkan kesempatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Di tengah tantangan akibat pandemi yang melanda seluruh dunia, kami bisa menginjakkan kaki langsung di Istana Negara.
Kegiatan ini dalam rangka menghadiri Rapat Koordinasi Nasional yang dibuka langsung oleh Bapak Presiden Republik Indonesia.
Bagi saya pribadi, ini adalah pengalaman luar biasa yang akan selalu saya kenang, meskipun hanya berlangsung selama beberapa jam.
Undangan yang Membawa Kebanggaan
Ketika pertama kali mendengar bahwa kantor kami mendapatkan undangan untuk mengikuti Rakornas di Istana Negara, saya sempat berpikir, “Seriusan? Di Istana Negara langsung?”
Biasanya, acara koordinasi seperti ini diselenggarakan di gedung kementerian atau hotel-hotel besar di Jakarta. Tapi kali ini berbeda. Kami diundang ke jantung pemerintahan Republik Indonesia.
Undangan itu tidak datang sembarangan. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari kantor kami di seluruh provinsi di Indonesia.
Jumlah peserta mencapai ratusan orang, dan suasana menjadi sangat formal serta seremonial. Meskipun begitu, ada rasa antusias yang tidak bisa disembunyikan dari wajah setiap peserta.
Semua hadir dengan pakaian dinas terbaik, sikap yang sangat tertib, dan tentu saja—harapan besar bisa punya dokumentasi keren di tempat bersejarah ini.
Memasuki Ruang Bersejarah: Aula Istana Negara
Sesi pertama dari acara ini diadakan di aula dalam Istana Negara. Begitu melangkah masuk, saya langsung merasakan suasana yang berbeda.
Ruangannya sangat megah tapi tetap terasa hangat dengan nuansa putih klasik dan pencahayaan yang temaram elegan.
|
Saya pun lupa, saya duduk sebelah mana 😄
Foto: https://www.presidenri.go.id
|
Yang paling menarik perhatian saya adalah deretan foto resmi para Presiden Republik Indonesia, yang dipajang dengan rapi di dinding aula.
Dari Presiden Soekarno, Soeharto, hingga Presiden Joko Widodo—semua tersusun seperti galeri sejarah perjalanan bangsa.
Melihat langsung potret-potret tersebut dalam ruangan yang begitu bersejarah membuat saya merenung.
Di tempat ini, begitu banyak keputusan penting untuk negeri ini pernah dibuat. Saya membayangkan bagaimana para pemimpin bangsa dulu berdiri dan berdiskusi di ruang yang sama.
Momen itu membuat saya merasa kecil, namun sekaligus bangga—karena saya bisa berada di titik ini, walaupun bukan sebagai pejabat tinggi negara, tapi sebagai bagian dari tim yang dipercaya ikut membangun negeri ini.
Protokol Ketat, Gadget Disita
Tentu saja, berkunjung ke Istana tidak seperti datang ke gedung pertemuan biasa. Ada protokol keamanan yang sangat ketat.
Salah satu hal yang langsung membuat ekspektasi kami runtuh adalah peraturan bahwa semua alat komunikasi pribadi—termasuk handphone, tablet, dan bahkan jam pintar—harus dikumpulkan sebelum masuk ke dalam gedung.
Tak ada negosiasi. Semua barang ini disimpan dan dijaga oleh tim dari kantor kami di luar area Istana.
Saya sempat berharap setidaknya bisa mengambil satu atau dua foto di dalam, tapi apa daya, aturannya jelas dan kami harus patuh.
Alhasil, seluruh sesi di dalam aula kami jalani tanpa dokumentasi pribadi sama sekali. Tidak ada selfie, tidak ada instastory, tidak ada foto estetik di balik pilar megah Istana.
Hanya kenangan dalam ingatan—dan itu pun harus kuat-kuat dipegang, karena tidak bisa diulang.
Sesi Kedua: Foto Bersama di Halaman Istana
Setelah sesi dalam aula selesai, kami diarahkan keluar menuju halaman depan Istana untuk sesi kedua yaitu foto bersama.
Nah, inilah satu-satunya momen yang terekam dalam dokumentasi resmi dari pihak Kepresidenan. Foto ini diambil di depan bangunan ikonik Istana Negara dengan pilar-pilar putihnya yang gagah, dan peserta berjejer rapi dalam beberapa baris.
Foto yang beredar memang luar biasa. Tampak megah, tertib, dan berwibawa. Tapi ketika saya mencoba memperbesar fotonya untuk melihat diri sendiri... yah, saya sadar kalau saya tidak terlihat di dalamnya.
Mungkin karena posisi saya berada di tengah-tengah barisan belakang, dan jumlah peserta yang sangat banyak, membuat saya “terlindas” oleh kerumunan.
Tapi tetap, saya bangga pernah berdiri di sana. Meskipun tidak terekam kamera, tapi kaki ini pernah berpijak di pelataran yang menjadi saksi sejarah bangsa.
Sisi Lain dari Sebuah Momen
Kalau ditanya, “Apa tidak sayang sudah jauh-jauh tapi tidak punya dokumentasi pribadi?” Jawabannya: tentu ada rasa kecewa kecil.
Apalagi buat generasi yang terbiasa membagikan setiap momen penting ke media sosial, rasanya seperti ada yang kurang.
Tapi setelah dipikir-pikir, justru pengalaman inilah yang membuat momen tersebut jadi lebih bermakna.
Kami benar-benar “hadir” di sana, bukan lewat layar ponsel, tapi lewat mata dan hati.
Kami mendengarkan langsung pidato Presiden, merasakan atmosfir ruang yang penuh sejarah, dan saling berbagi cerita dengan rekan dari berbagai daerah.
Semua terjadi tanpa distraksi dari notifikasi, kamera, atau dorongan untuk update status.
Penutup: Cerita yang Tak Akan Pernah Luntur
Momen ini mungkin hanya berlangsung beberapa jam, tapi ceritanya akan saya bawa sepanjang hidup.
Saya mungkin tidak punya foto narsis di depan pintu utama Istana.
Tidak ada dokumentasi pribadi berdiri di samping potret Presiden Soekarno. Tapi saya punya cerita, dan cerita itu jauh lebih berarti.
Kalau suatu hari anak saya bertanya, “Ayah pernah ke Istana, nggak?” Saya bisa menjawab dengan mantap, “Pernah. Ayah pernah masuk ke dalam, duduk di aula tempat para pemimpin negeri berkumpul, dan jadi bagian dari momen penting. Waktu itu, handphone Ayah disita, jadi nggak bisa selfie, tapi Ayah ingat semuanya.”
Dan saya yakin, kenangan seperti itu akan jauh lebih kuat daripada ribuan foto di galeri ponsel.
widih keren banget sampai diundang ya
BalasHapus