"Aku nggak punya apa-apa, motor nggak punya, apalagi mobil. Aku cuma Dani yang biasa-biasa aja..."
Dina tersenyum tipis, lalu menjawab, "Nggak apa-apa, Dan. Aku masih bisa jalan kok."
Dani adalah pria sederhana, pemuda yang tumbuh di lingkungan bersahaja dan hidup seadanya. Saat di SMA, ia dikenal sebagai siswa yang pendiam dan tak banyak bicara.
Bukan karena tak pandai, tapi Dani lebih suka memperhatikan dunia di sekelilingnya tanpa banyak terlibat. Ia sering mengamati orang-orang di sekitarnya, termasuk Dina.
Dina, sebaliknya, adalah cahaya yang selalu menarik perhatian. Gadis ceria dengan senyum menawan, selalu dikelilingi teman-teman dan menjadi idola banyak pria.
Kecantikannya bukan hanya dari wajahnya, tapi juga dari kehangatan sikapnya. Dina selalu sopan, rendah hati, dan ramah kepada siapa saja.
Dani menyukainya sejak pertama kali melihatnya, tapi ia tahu diri. Dina seperti bintang yang terlalu jauh untuk diraih.
Waktu berlalu, SMA pun usai. Mereka menjalani jalan hidup masing-masing. Dani melanjutkan pendidikan di kota lain, bekerja keras untuk membantu keluarganya.
Ia bukan orang yang punya ambisi besar, tetapi ia ingin hidupnya berarti bagi orang-orang yang ia sayangi.
Di lain sisi, Dina menjalani hidupnya seperti biasa, penuh energi dan selalu dikelilingi orang-orang yang mengaguminya.
Beberapa tahun kemudian, nasib mempertemukan mereka kembali. Dani yang saat itu bekerja sebagai teknisi di sebuah perusahaan kecil tak sengaja bertemu Dina di sebuah acara reuni kecil-kecilan.
Dina tampak masih sama, penuh pesona, tetapi ada sesuatu yang lebih matang dalam caranya berbicara dan membawa diri.
Percakapan yang dimulai dengan basa-basi sederhana perlahan menjadi lebih dalam. Dina, yang ternyata bekerja di bidang pemasaran, merasa nyaman berbicara dengan Dani.
Ia terkesan dengan kesederhanaan Dani, caranya memandang hidup, dan kejujurannya yang tidak dibuat-buat. Hubungan mereka mulai terjalin lebih dekat.
Dani tak pernah menyangka bisa berada sedekat ini dengan Dina. Tapi meski hatinya penuh harapan, Dani selalu menahan diri.
Malam itu, mereka berjalan bersama setelah menghadiri sebuah acara.
Udara dingin menyelimuti, tetapi Dani merasa panas dingin karena hatinya berdebar kencang. Ia tahu ia harus mengatakan sesuatu.
Rasa yang ia pendam bertahun-tahun terasa semakin menyesakkan.
"Din," kata Dani dengan suara bergetar, memberanikan diri untuk memulai. Dina menoleh, menatapnya dengan lembut.
"Aku nggak punya apa-apa, motor nggak punya, apalagi mobil. Aku cuma Dani yang biasa-biasa aja..."
Dina tersenyum tipis, lalu menjawab, "Nggak apa-apa, Dan. Aku masih bisa jalan kok."
Dani hanya terpaku, bingung dengan jawaban Dina. Ia mengira itu adalah bentuk penerimaan, tetapi Dina melanjutkan langkahnya.
Ia berjalan, perlahan, semakin jauh dari sisi Dani. Tanpa menoleh, Dina menghilang di keramaian malam itu.
Dani hanya berdiri di tempatnya, perasaannya hancur. Kata-kata Dina terus terngiang di kepalanya, dan ia menyadari maksud di baliknya.
Dina memang bisa berjalan, tapi tidak bersamanya. Tidak dalam perjalanan hidup yang Dani bayangkan selama ini.
Malam itu, Dani belajar bahwa meski cinta itu tulus, ia tak selalu berarti harus dimiliki.
bacanya jadi sedih karena masih sendiri :(
BalasHapusDina bisa jalan sendiri karena Dina biasa jadi pusat perhatian. Memang orang-orang sanguinis percaya dirinya besar. Jadi butuh seorang dengan kharisma yang melampaui dirinya.
BalasHapus